Kamis, 09 Oktober 2014

Karena Cinta Memang Seharusnya Buta





Cinta Buta.

Begitulah, keseringan quote ini bermakna negatif.
Bagi saya, benar.
Dulu saya juga mempersepsikan cinta buta itu negatif.
Tapi sekarang,
Saya fikir, cinta memang seharusnya buta.
Harus buta! Absolutely. Cinta itu wajib membutakan diri.

Saya boleh memaknainya dengan seorang gadis, yang belum mengerti cara menutup aurat,
Maka berapa waktu lamanya, dia berfashion seksi.
Celana ketat, hijab dileher terikat.

Suatu saat sang gadis menemukan hidayah,
Ia disapa oleh lembutnya kasih dari Tuhannya.
Dia tersadar, Rabbinya tengah mencucurkan cinta untuknya,
Cinta yang lembut dan melimpah.
Maka, ia memutuskan mencintai sang Rabbi.
Saat seseorang memutuskan untuk mencintai, maka pada saat itu pula ia serta merta memutuskan untuk memberi. 

Sang gadis pun berbenah diri, kini iya berhijab syar’i, berfashion longgar dan tak update.
Beberapa komentar mulai terlontarkan untuknya.
Dia mulai dikatai norak, bodoh, tidak modern, konservatif dan bla bla bla.
Apa tanggapan sang gadis?
“Sorry, saya sudah menutup mata dengan komentar orang-orang! 
Cinta ini benar-benar bikin ku buta, ntahlah, aku selalu menutup mata dengan beberapa ocehan, kadang bikin ku bosan!”
Sang gadis pun melaju dengan keputusannya, keputusan untuk mencintai Rabbnya.
membawa kebutaannya kemana-mana pada aktivitas cintanya.

Tersebut seorang pemuda,
Dia cerdas, aktivitasnya selalu mengangkatnya kepuncak prestasi. Bahkan di semester 4 dia sudah menjuarai PKM, memenangkan modal wirausaha, ipk nya wow. Dia lelaki prestisius. 

Namun, suatu saat dia tersadarkan.
Lagi-lagi sama seperti kasus si gadis.
Pemuda ini disapa lembut oleh hidayah allah.
Ia tersontak,
Apa arti semua prestasi ini, tapi tak mampu memberi arti untuk orang banyak.
Rasanya, sukses sendiri, benar-benar hampa!
Maka ia memutuskan untuk bergabung bersama komunitas dan organisasi kampus.
Dia menyibukkan diri pada aktivitas yang sama sekali tak berhubungan dengan kepentingan diri.
Agar bisa memberi manfaat melalui aksi kreatif-cerdasnya.

Ya, pada saat itu ia memutuskan untuk mencintai. Mencintai aktivitas berbagi. 
Mencintai aksi berbagi inspirasi. Mencintai kerja harmoni.
Dan jika seseorang memilih untuk mencintai, maka serta merta ia memutuskan untuk memberi.
Diumur semester ke-7, ia tak kunjung lulus. Memasuki umur semester 8, ia masih juga belum wisuda.
Padahal semua tau, dia pemuda cerdas full talenta.
Aksi kompor dari teman-teman terdekat agar ia meninggalkan “aktivitas berbagi kebaikannya” untuk sementara, agar ia fokus wisuda, sama sekali tak masuk ke hati, para teman pun hanya dikembalikan sebuah senyuman.

Ya, si pemuda sudah buta.
Terhadap segala komentar dan ocehan, benar-benar buta! Terhadap pandangan-pandangan rendah dan sepele, dia sudah buta.
Cinta memang seharusnya buta.
Karena “ketidakbutaan” baginya, hanya membuatnya ragu-ragu dan gagalfokus pada keikhlasan niat.
Pemuda ini memang sedikit terlambat. Terlambat menuju kewisudaan.
Tapi, kata siapa dia bodoh, justru dia cerdas, dia menargetkan diri fullmanfaat.
Setidaknya dia sudah meninggalkan banyak karya, baik karya kecil mungil maupun karya besar.
Dia hanya butuh sedikit waktu tambahan untuk mencapai impiannya. Impian untuk berbagi kebahagiaan. Impian untuk menjadi bagian dari golongan yang memberi arti.
Dan dia mampu mewujudkannya, karena rasa cinta. Cinta yang menggebu. Cinta yang buta.

Karena cinta memang seharusnya buta!
Begitulah, saat kita memutuskan untuk mencintai, jalani cinta dengan kebutaan!
Karena ketidakbutaan hanya menjadikan kita ragu dan gagal fokus.

Salam positif!
@BEM Unsyiah, 9 oktober 2014


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamis, 09 Oktober 2014

Karena Cinta Memang Seharusnya Buta





Cinta Buta.

Begitulah, keseringan quote ini bermakna negatif.
Bagi saya, benar.
Dulu saya juga mempersepsikan cinta buta itu negatif.
Tapi sekarang,
Saya fikir, cinta memang seharusnya buta.
Harus buta! Absolutely. Cinta itu wajib membutakan diri.

Saya boleh memaknainya dengan seorang gadis, yang belum mengerti cara menutup aurat,
Maka berapa waktu lamanya, dia berfashion seksi.
Celana ketat, hijab dileher terikat.

Suatu saat sang gadis menemukan hidayah,
Ia disapa oleh lembutnya kasih dari Tuhannya.
Dia tersadar, Rabbinya tengah mencucurkan cinta untuknya,
Cinta yang lembut dan melimpah.
Maka, ia memutuskan mencintai sang Rabbi.
Saat seseorang memutuskan untuk mencintai, maka pada saat itu pula ia serta merta memutuskan untuk memberi. 

Sang gadis pun berbenah diri, kini iya berhijab syar’i, berfashion longgar dan tak update.
Beberapa komentar mulai terlontarkan untuknya.
Dia mulai dikatai norak, bodoh, tidak modern, konservatif dan bla bla bla.
Apa tanggapan sang gadis?
“Sorry, saya sudah menutup mata dengan komentar orang-orang! 
Cinta ini benar-benar bikin ku buta, ntahlah, aku selalu menutup mata dengan beberapa ocehan, kadang bikin ku bosan!”
Sang gadis pun melaju dengan keputusannya, keputusan untuk mencintai Rabbnya.
membawa kebutaannya kemana-mana pada aktivitas cintanya.

Tersebut seorang pemuda,
Dia cerdas, aktivitasnya selalu mengangkatnya kepuncak prestasi. Bahkan di semester 4 dia sudah menjuarai PKM, memenangkan modal wirausaha, ipk nya wow. Dia lelaki prestisius. 

Namun, suatu saat dia tersadarkan.
Lagi-lagi sama seperti kasus si gadis.
Pemuda ini disapa lembut oleh hidayah allah.
Ia tersontak,
Apa arti semua prestasi ini, tapi tak mampu memberi arti untuk orang banyak.
Rasanya, sukses sendiri, benar-benar hampa!
Maka ia memutuskan untuk bergabung bersama komunitas dan organisasi kampus.
Dia menyibukkan diri pada aktivitas yang sama sekali tak berhubungan dengan kepentingan diri.
Agar bisa memberi manfaat melalui aksi kreatif-cerdasnya.

Ya, pada saat itu ia memutuskan untuk mencintai. Mencintai aktivitas berbagi. 
Mencintai aksi berbagi inspirasi. Mencintai kerja harmoni.
Dan jika seseorang memilih untuk mencintai, maka serta merta ia memutuskan untuk memberi.
Diumur semester ke-7, ia tak kunjung lulus. Memasuki umur semester 8, ia masih juga belum wisuda.
Padahal semua tau, dia pemuda cerdas full talenta.
Aksi kompor dari teman-teman terdekat agar ia meninggalkan “aktivitas berbagi kebaikannya” untuk sementara, agar ia fokus wisuda, sama sekali tak masuk ke hati, para teman pun hanya dikembalikan sebuah senyuman.

Ya, si pemuda sudah buta.
Terhadap segala komentar dan ocehan, benar-benar buta! Terhadap pandangan-pandangan rendah dan sepele, dia sudah buta.
Cinta memang seharusnya buta.
Karena “ketidakbutaan” baginya, hanya membuatnya ragu-ragu dan gagalfokus pada keikhlasan niat.
Pemuda ini memang sedikit terlambat. Terlambat menuju kewisudaan.
Tapi, kata siapa dia bodoh, justru dia cerdas, dia menargetkan diri fullmanfaat.
Setidaknya dia sudah meninggalkan banyak karya, baik karya kecil mungil maupun karya besar.
Dia hanya butuh sedikit waktu tambahan untuk mencapai impiannya. Impian untuk berbagi kebahagiaan. Impian untuk menjadi bagian dari golongan yang memberi arti.
Dan dia mampu mewujudkannya, karena rasa cinta. Cinta yang menggebu. Cinta yang buta.

Karena cinta memang seharusnya buta!
Begitulah, saat kita memutuskan untuk mencintai, jalani cinta dengan kebutaan!
Karena ketidakbutaan hanya menjadikan kita ragu dan gagal fokus.

Salam positif!
@BEM Unsyiah, 9 oktober 2014


Tidak ada komentar:

Posting Komentar